Bahasa insyarat adalah salah satu bentuk
bahasa yang bisa dipelajari. Namun dalam beberapa kasus , bahasa isyarat
menjadi sulit dipelajari, karena keterbatasan sumber. Sebagai contoh, insiden
penerjemahan bahasa isyarat palsu pada pemakaman Nelson Mandela mendapatkan
reaksi keras dari berbagai kalangan. Dari kejadian ini dapat disimpulkan bahwa
penerjemah palsu tersebut tidak bisa mendapatkan sumber materi bahasa isyarat
dinegrinya atau seperti yang terdapat pada berita, bahwea banyak penerjemah
yang ingin lulus meskipun mereka hanya tau beberapa isyarat saja dan biasanya yang
memperkerjakan mereka adalah orang yang
tidak mengerti tentang bahasa isyarat. Selain itu, tidah sedikit orang yang mengalami cacat berupa tidak bisa
bicara (tunawicara) di berbagai Negara dan masih sedikitnya lembaga yang
mengajarkan tentang bahasa isyarat.
Pendekatan Pengajaran Alternatif
Bagi Penyandang Tuna Rungu Dan Tuna Wicara. Menurut Smith (2009, hal. 283), terdapat tiga dasar pendekatan
pengajaran alternatif bagi siswa dengan penyandang tuna rungu dan tuna wicara. Metode
manual. Metode manual terdisir dua
komponen dasar, yaitu bahasa isyarat (sign language) dan finger spelling.
Bahasa isyarat. Sistem Isyarat Bahasa Indonesia yang
dibakukan merupakan salah satu media yang membantu komunikasi sesama tuna rungu dan tuna wicara ataupun
komunikasi tuna rungu dan tuna wicara di
dalam masyarakat yang lebih luas. Wujudnya adalah tatanan yang sistematis bagi
seperangkat isyarat jari, tangan, dan berbagai gerak untuk melambangkan kosa
kata bahasa Indonesia. Isyarat yang dikembangkan di indonesia secara umum
mengikuti tata/aturan isyarat sebagaimana yang telah dikemukakan mengenai aspek
linguistik bahasa isyarat.
Abjad jari adalah isyarat yang
dibentuk dengan jari-jari tangan (tangan kanan atau tangan kiri) untuk mengeja
huruf atau angka. Bentuk isyarat bagi huruf dan angka di dalam SIBI serupa
dengan International Manual Alphabet. Abjad jari digunakan untuk mengisyaratkan
nama diri, mengisyaratkan singkatan atau akromin , dan mengisyaratkan kata yang
belum ada isyaratnya.
Tunawicara (bisu) adalah mereka yang menderita gangguan
berbicara sehingga tidak dapat berbicara dengan jelas. Bisu disebabkan oleh
gangguan pada organ-organ seperti tenggorokan, pita
suara, paru-paru, mulut, lidah, dsb.. Tuna wicara (bisu) sering diasosiasikan dengan tuna
rungu (Tuli) karena ada sebuah syaraf
eustachius yang menghubungkan
telinga tengah dengan rongga mulut adapun organ berbicara antara lain
mulut,hidung,kerongkongan,batang tenggorokan,dan paru-paru. Penghubung
penting lainnya antara telinga dan mulut adalah saraf
trigeminal, yang terhubung ke otot martil, serta ke otot–otot yang
memungkinkan kita mengunyah dan menutup mulut, yaitu otot temporal dan otot
masseter.
Saraf trigeminal
- Saraf ini merupakan
penghubung langsung lainnya antar pendengaran dan suara. Kalau dengan menguap
kita dapat menghindari mendengar, cara lain adalah dengan menutup rahang
rapat-rapat.
- Ketika seseorang anak
menggeretakan ginginya saat marah, pasti bahwa kata-kata kita akan masuk
telinga kann dan keluar telinga kiri.
- Hubungan saraf ganda
antara telinga dan suara agaknya bersesuaian dengan temuan-temuan akhir-akhir
ini yang menyatakan; otot-otot telinga tengah teraktivasi ketika kita
menggunakan suara kita.
faktor penyebab tuna wicara.
- Hipertensi
- Faktor genetik /turunan dari orang tua.
- Keracunan makanan.
- Tetanus Neonatorum (Penyakit yang menyerang bayi saat baru lahir. Biasanya disebabkan oleh pertolongan persalinan yang tidak memadai)
- Difteri (Penyakit infeksi akut pada saluran pernafasan bagian atas)
· Berbicara keras dan
tidak jelas
· Suka melihat gerak
bibir atau gerak tubuh teman bicaranya
· Telinga mengeluarkan
cairan
· Menggunakan alat bantu
dengar
· Bibir sumbing
· Suka melakukan gerakan
tubuh
· Cenderung pendiam
· Suara sengau
· Cadel
Klasifikas penderita tuna wicara.
Disabilitas pendengaran pada umumnya dialami oleh
individu yang lahir sebelum waktunya (premature). Penyandang disabilitas bicara
ini memiliki beberapa karakteristik antara lain memiliki suara sengau, cadel,
bicara tidak jelas dan tidak mengeluarkan suara saat berbicara, cenderung
pendiam, pandangan tertuju pada satu obyek, menggunakan komunikasi non verbal
dan bahasa tubuh untuk mengungkapkan pendapat, pikiran dan keinginan, serta
lebih memilih berkomunikasi secara tertulis.
Anak dengan gangguan dengar/wicara dikelompokan sebagai berikut :
- Ringan (20 – 30 db)
Umumnya mereka masih dapat berkomunikasi dengan baik, hanya kata-kata
tertentu saja yang tidak dapat mereka dengar langsung, sehingga pemahaman
mereka menjadi sedikit terhambat.
- Sedang (40 – 60 db)
Mereka mulai mengalami kesulitan untuk dapat memahami pembicaraan orang
lain, suara yang mampu terdengar adalah suara radio dengan volume maksimal
- Berat/parah (di atas 60 db)
Kelompok ini sudah mulai sulit untuk mengikuti pembicaraan orang lain,
suara yang mampu mereka dengar adalah suara yang sama kerasnya dengan jalan
pada jam-jam sibuk. Biasanya kalau masuk dalam kategori ini sudah menggunakan
alat bantu dengar, mengandalkan pada kemampuan membaca gerak bibir, atau bahasa
isyarat untuk berkomunikasi
- Penanganan
Bila terdapat gejala tersebut di atas lakukanlah pengujian kemampuan
pendengaran sederhana dengan Uji Percakapan atau Uji Berbisik kurang dari 4
meter. Lakukan juga pemeriksaan pada telinga luar dan dalam untuk memastikan
dan menentukan jenis dan derajat gangguan pendengaran.Petugas yang memberikan
pelayanan kesehatan bagi tunawicara diharapkan dapat lebih sabar dan berbicara
dengan menggunakan mimik yang jelas dan keterarah jawaban (berhadap-hadapan)
agar komunikasi dapat berjalan lancar.
Cara membantu tunawicara:
a) Bicara harus jelas dengan ucapan yang benar
b) Gunakan kalimat sederhana dan singkat
c) Gunakan komunikasi non verbal seperti gerak bibir atau
gerakan tangan
d) Gunakan pulpen dan kertas untuk menyampaikan pesan
e) Bicara berhadapan muka
f) Latihan gerak bibir dengan cermin
g) Latihan menggunakan bahasa isyarat
h) Jika masih memungkinkan, periksakan kepada tenaga profesional
untuk mendapatkan alat bantu dengar.
Menurut Departemen Sosial (Depsos) pada tahun 2002 .
Anak yang mengalami cacat di Indonesia berjumlah 358.738 jiwa . yang didalamnya
terdiri dari tuna daksa (35.8 %), tuna netra (17%), tuna rungu wicara (14.27%),
tuna grahita (12.15%), dan sisanya kurang dari 7% adalah penyandang cacat lain.
Sedangkan, Menurut data WHO , anak yang memiliki
cacat atau kekurangan pada setiap Negara adalah sejumlah 10% dari jumlah
penduduk. Sedangkan jumlah penyandang cacat sesuai sensus tahun 1978 di
Indonesia berjumlah 1.793.118 jiwa, atau mencapai (3.1%) dari jumlah penduduk.
Lalu pada tahun 2004 dapat diketahui jumlah penyandang cacat sesuai hasil
Survei Sosial Ekonomi Nasional (Sosenas) di Indonesia adalah 6.047.008 jiwa,
yang terdiri dari tuna netra 1.749.981 jiwa (29%), tuna daksa 1.652.741 jiwa
(27%), eks penderita penyakit kronis 1.282.881 jiwa (21%), tuna grahita 777.761
jiwa (12.8%), dan tuna rungu wicara mencapai angka 602.784 (9.9%).
Angka 602.784
jiwa tuna rungu wicara cukup mencengangkan bagi masyarakat awam apalagi
kita yang berperan sebagai terapis wicara kelak. Perbandingan antara terapis
wicara di Indonesia yang berjumlah kurang dari 600 orang pada tahun 2011 ini
dan penyandang tuna rungu wicara yang mencapai 602.784 jiwa dan mungkin lebih.
Faktor-faktor
Penyebab Tuna Wicara
Faktor yang bisa menyebabkan tuna wicara diantaranya
karena tekanan darah yang terlalu tinggi (Hipertensi), faktor genetik atau
keturunan dari orangtua, keracunan makanan, penyakit Tetanus Neonatorum yang
menyerang bayi pada saat bayi baru lahir, biasanya karena pertolongan
persalinan yang tidak memadai, dan penyakit infeksi akut pada saluran
pernafasan bagian atas (Difteri).
Pengaruh
Kemampuan Berkomunikasi Pada Penyandang Tuna Wicara Dan Tuna Rungu
Menurut Edja
Sajaah dan Darjo Sukarja (1995, hal. 48), ”Pada umunya
pendengaran anak tuna rungu berpengaruh terhadap kemapuan berbahasanya, antara
lain: Miskin dalam kosakata, sulit mengartikan ungkapan-ungkapan yang
mengandung kiasan, sulit mengartikan kata- kata abstrak kurang menguasai irama
dengan gaya bahasa”.
Dari ketunarunguan terjadi hambatan pada anak dalam
pendidikannya, yaitu: Pertama, konsekuensi akibat gangguan pendengaran atau
tuna rugu tersebut bahwa penderitaannya akan mengalami kesulitan dalam menerima
segala macam rangsang atau peristiwa bunyi yang ada di sekitrnya. Kedua, akibat
kesulitan menerima rangsang bunyi, konsekuensinya penderita tuna rungu akan
mengalami kesulitan pula dalam memproduksi suara atau bunyi bahasa yang
terdapat di sekitarnya. (Mohammad Efendi, 2006, hal. 72).
Dari uraian di atas, maka kehilangan pendengaran
bagi seseorang sama halnya mereka telah kehilangan sesuatu yang berarti, sebab
pendengaran merupakan kunci utama pembuka tabir untuk dapat meniti tugas
perkembanganya secara optimal. Atas dasar itulah anak tuna rungu yang belum
terdidik dengan baik, tampak pada dirinya seperti terbelakang, walaupun hal itu
sebenarnya masih semu, serta tampak tidak komunikatif.
Memperhatikan keterbatasan kemampuan anak tuna rungu
dari aspek kemampuan bahasa dan bicaranya, maka sejak awal masuk sekolah
pengembangan kemampuan bahasa dan bicara menjadi skala prioritas program
pendidikannya. Pendekatan yang lazim digunakan untuk mengembangkan kemampuan
bahasa dan bicara anak tuna rungu, yaitu oral dan isyarat. Selama ini
pendekatan yang digunakan dalam pendidikan secara kontroversial, sebab
masing-masing institusi punya dasar filosofi yang berbeda.
Menurut
Sunaryo Kartadinata (1996, hal. 80),
dampak tuna rungu wicara sehubungan dengan karakteristik anak tuna rungu yaitu:
“miskin dalam kosakata, sulit memahami kata-kata abstrak, sulit mengartikan
kata-kata yang mengandung kiasan, adanya gangguan bicara maka hal ini merupakan
sumber masalah pokok bagi anak tuna rungu wicara.”
Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa
kehilangan pendengaran bagi seseorang sama halnya mereka telah kehilangan
sesuatu yang berarti, sebab pendengaran merupakan kunci utama pembuka tabir
untuk dapat meniti tugas perkembangan secara optimal. Usaha yang mungkin akan
mendorong anak tuna rungu dapat
bersekolah dengan cepat adalah mengikuti pendidikan pada sekolah normal dan
disediakan program-program khusus bila mereka tidak mampu mempelajari bahan
pelajaran seperti anak normal.
Oleh sebab itu, dibutuhkan sebuah
aplikasi yang dapat membantu tuna wicara untuk memahami dan mempelajari bahasa
isyarat dengan mudah sehingga mereka dapat berkomunikasi dalam kehidupan sehari
– hari. Dalam aplikasi ini juga dilengkapi dengan pengenalan huruf alphabet
dengan menggunakan tangan dan latihan sehingga pengguna dapat meningkatkan
kemampuan dengan mengerjakan latihan yang ada.
Daftar Pustaka:
Nama Kelompok
- Dini Dwi Rahayu
(12111155) http://diniayu21.blogspot.com/
- Lila Dahlia
(14111098) http://lylalalala.blogspot.com/
- Trie Handayani (17111186) http://ntriexxx.blogspot.com/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar